Sabtu, 15 Agustus 2015

makalah hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain dan metode psikologi

Tidak ada komentar:

MAKALAH
HUBUNGAN PSIKOLOGI DENGAN ILMU PENGETAHUAN LAIN DAN METODE-METODE PSIKOLOGI
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Psikologi


Dosen Pembimbing,  
Siti Halimah, M.Pd.I

Disusun Oleh :

1.      Achmad Dimyati                               (201411001054)
2.      Nur Chayati                                       (201411001014)







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
        STIT PGRI PASURUAN
18 Maret 2015



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa dengan Rahmat dan Ridho-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah  Pengantar Psikologi yang berjudul “Hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain dan metode-metode psikologi”. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : Ibu Siti Halimah, M.Pd.I selaku dosen pembimbing kami, yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.
Adapun isi dari Makalah ini adalah Hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain dan metode-metode psikologi.
Semoga Makalah ini dapat menambah wawasan kita semua dan dapat memenuhi kriteria tugas yang Ibu berikan serta dapat menjadi nilai tambah untuk penulis.
Tak ada yang sempurna, begitu pula dengan penulisan makalah ini. Oleh sebab itu kami menerima kritik positif dari pembaca sebagai perbaikan bagi pemakalah dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfat.
Akhir kata penulis ucapkan “Terima Kasih”

                                                                                    Pasuruan, 18 Maret 2015

                                                                                               
                                                                                                Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I        PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang............................................................................................1
B.   Rumusan Masalah.......................................................................................1
C.   Tujuan Penulisan.........................................................................................1
BAB II       PEMBAHASAN
A.   Hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain..................................2
1. Hubungan psikologi dengan sosiologi...................................................2
2. Hubungan psikologi dengan antropologi...............................................4
3. Hubungan psikologi dengan ilmu politik...............................................6
4. Hubungan psikologi dengan ilmu komunikasi.......................................8
5. Hubungan psikologi dengan biologi......................................................9
6. Hubungan psikologi dengan ilmu alam.................................................10
7. Hubungan psikologi dengan filsafat......................................................11
8. Hubungan psikologi dengan ilmu pendidikan.......................................12
B.   Metode-metode psikologi..........................................................................13
1. Metode eksperimental............................................................................15
2. Metode non-eksperimental.....................................................................18
a. Metode observasi...............................................................................18
b. Metode studi kasus...........................................................................19
c. Metode survei...................................................................................21
d. Metode Korelasional........................................................................24
BAB III     PENUTUP
A.  Kesimpulan................................................................................................26
B.  Saran..........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................27





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini, hampir setiap individu sudah mengenal dan mengetahui tentang psikologi. Seperti yang penulis ketahui, psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang aktivitas dan pola tingkah laku, dalam hal ini manusia, secara lebih mendalam.
Dan seperti yangg penulis ketahui, psikologi merupakan ilmu yang telah mandiri, di mana ilmu psikologi tidak tergabung dengan ilmu-ilmu lainnya. Namun demikian tidak boleh dipandang bahwa psikologi itu sama sekali terlepas dari ilmu-ilmu yang lain. Dalam hal ini psikologi masih mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu tersebut.
Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari dan mendalami mengenai jiwa seseorang tentu mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain yang sama-sama mempelajari tentang keadaan manusia. Hal ini akan menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk hidup tidak hanya dipelajari oleh ilmu psikologi saja, melainkan oleh ilmu-ilmu lainnya yang saling berkaitan.
Dalam menyelidiki psikologi, hendaknya juga dipergunakan banyak metode-metode yang mungkin ini dimaksudkan agar kelemahan-kelemahan metode yang satu dapat ditutup oleh kesempurnaan pada metode yang lain.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakangdiatas, makapemakalahdapat menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sajakah hubungan psikologi dengan ilmu lain?
2.      Apa sajakah metode-metode psikologi itu?

C.  Tujuan Masalah
Berdasarkan latar belakangdiatas, makapemakalahdapat menarik tujuan masalah sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui beberapa hubungan psikologi dengan ilmu lain
2.        Untuk mengetahui beberapa metode-metode psikologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain
Psikologi beserta sub-sub ilmunya, pada dasarnya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lain. Hubungan itu biasanya bersifat timbal balik. Psikologi memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain, dan sebaliknya, ilmu-ilmu lain juga memerlukan bantuan psikologi.
1.    Hubungan psikologi dengan sosiologi
Mead dan madzhabnya mengisyaratkan adanya suatu kemugkinan yang menarik bagi apa yang dinamakan “psikologi sosiologis”. Artinya, suatu psikologi yang memperoleh perspektif-perspektif dasarnya dari suatu pemahaman sosiologis tentang kondisi manusia[1].
Menurut S. Takdir Alisjahbana, jasa yang paling besar dari psikologi sosial modern, seperti yang dikemukakan oleh F.H. Allport, Muzafer Sherif, Salomon E. Asch, Peter R. Hofstatter, dan lain-lain, ialah karena mengembalikan keutuhan perpecahan antara psikologi dan sosiologi[2].
Tampaknya, memang begitu dekat hubungan antara sosiologi dan psikologi sosial, sehingga ada sementara orang yang mengatakan bahwa psikologi sosial merupakan cabang dari sosiologi, seperti juga halnya bahwa psikologi sosial merupakan cabang dari psikologi.
Pada dasarnya, psikologi sosial mempunyai perbedaan dengan psikologi sebagai ilmu induknya. Menurut Bonner, psikologi sosial mempelajari perilaku individu yang bermakna dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang sosialnya. Sebaliknya, psikologi mempelajari perilaku apa saja, terlepas dari makna sosialnya.
Perbedaaan psikologi sosial dengan sosiologi adalah dalam hal fokus studinya. Jika psikologi sosial memusatkan penelitiannnya pada perilaku individu, sosiologi tidak memperhatikan individu. Yang menjadi perhatian sosiologi adalah sistem dan struktur sosial yang dapat berubah atau konstan tanpa bergantung pada individu-individu. Dengan demikian, unit analisis psikologi sosial adalah individu, sedangkan unit analisis sosiologi adalah kelompok.
Von Wiese mengambil psikologi sosial yang telah banyak dipakai oleh ilmu-ilmu sosial. Mengapa? Karena semua gejala sosial, menurutnya, mau tidak mau, adalah hasil dari pengalaman jiwa (inneleben, seelischer prozess) manusia.[3]
Psikologi merupakan bidang ilmu yang mengandung baik “sayap” subsosial maupun sosial. Psikologi psikologis berkaitan dengan proses-proses fisik melalui proses pikiran, perasaan, dan seterusnya. Namun, sebagian besar psikologi lainnya memang sedikit banyak adalah sosial. Apa yang biasa disebut psikologi sosial nyatanya hanya merupakan satu bagian saja dari psikologi “sosial” yang lebih luas ini.
Psikologi sosial, seperti dikatakan Worsley dan kawan-kawan (1991), biasanya berurusan dengan suatu kumpulan topik begitu saja, yang belum tentu berhubungan, seperti penelitian atas kelompok-kelompok kecil atau perilaku massa. Akan tetapi, semua psikologi non psikologis dapat dikatakan merupakan perilaku “sosial”, karena berkaitan dengan proses-proses yang menyebabkan perilaku manusia menjadi di bakukan, diharapkan, dan diwajibkan secara kultural, dengan kata lain, cara-cara masyarakat mengatur pola-pola tertentu dari perilaku individu.
Lantas, apakah baik psikologi maupun sosiologi keduanya sama-sama berurusan dengan cara perilaku individual dibentuk secara sosial? Jawabnya adalah “ya”, namun fokus perhatian psikologi, seperti sudah disinggung adalah individunya, sementara sosiolog memperhatikan kelompok atau kategori: sikap-sikap, misalnya, wanita-wanita, orang-orang sadis, atau para pekerja tambang. Perbedaaan-perbedaanya adalah bahwa unit atau kerangka acuan bagi psikolog adalah perilaku individual, apakah “psikis” batinnya ataukah manifestasi-manifestasi eksternalnya yang bisa diamati dalam hubungannya dengan orang lain.
Karena itu, perilaku sosial bukan hanya mengumpulkan semua perilaku “alami”, terpisah dari banyak individu yaitu yang disebut “aggregate psychology” (psikologi gabungan), tetapi merupakan suatu tingkat perilaku yang berbeda secara kualitatif, tidak timbul dalam psikis individual diluar pengaruh dari pengalaman kemasyarakatannya, tetapi dihasilkan dalam kelompok-kelompok sosial dan diserap kedalam individu sebagai hasil tekanan dari kelompok-kelompok itu.
Soerjono soekanto menyebutkan, diantara para sosiolog yang mendasarkan teorinya pada psikologi adalah gabriel Tarde (1843-1904) dari perancis. Dia mulai dengan suatu dugaan atau pandangan awal bahwa gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang terdiri atas interaksi antara jiwa-jiwa idividu, dan jiwa tersebut terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan. Bentuk utama dari interaksi mental individu adalah imitasi, oposisi, dan adaptasi atau penemuan baru. Imitasi, menurut soekanto, sering kali berhadapan dengan oposisi, yang menuju pada bentuk adaptasi yang baru. Dengan demikian, mungkin terjadi perubahan sosial yang disebabkan oleh penemuan-penemuan baru. Hal ini menimbulkan imitasi, oposisi penemuan baru, perubahan-perubahan, dan seterusnya.
Dengan demikian, keinginan utama dari Tarde, dalam pandangan soekanto adalah berusaha menjelaskan gejala-gejala sosial dalam kerangka reaksi-reaksi psikis dari orang. Hal ini merupakan petunjuk, betapa besarnya pengaruh dari pendekatan secara psikologis. Ajaran ini, menurut Soekanto, terutama sangat berpengaruh di Amerika Serikat, yang banyak sosiolog mengadakan analisis terhadap individu maupun dari kelompok terhadap kelompok. Di antara mereka adalah Albion Small (1854-1926) yang pertama-tama membuka departemen sosiologi pada Universitas Chicago, dan menerbitkan American Journal of Sociology yang terkenal itu[4]
2.    Hubungan psikologi dengan antropologi
Harus kita akui bahwa bantuan psikologi terhadap antropologi sangatlah besar, sehingga dalam perkembangannya yang terahir, lahir suatu sub-ilmu atau spesialisasi dari antropologi yang disebut etnopsikologi (ethnopsychology), atau antropologi psikologikal (psychological anthropology), atau juga studi kebudayaan dan kepribadian (study of culture and personaliy), disamping spesialisasi antropology in mental healt (Hsu, 1961; Barnouw, 1963; Clifton, 1968; Koentjaraningrat 1980; effendi & praja, 1993).
Sejak abad lalu, di Amerika serikat dan inggris telah berkembang berbagai penelitian antropologi yang dalam analisisnya menggunakan banyak konsep psikologi. Berbagai penelitian itu dimulai karena timbulnya perhatian terhadap tiga masalah, yaitu:
a.    Masalah “kepibadian bangsa”
b.    Masalah peranan individu dalam proses perubahan adat istiadat
c.    Masalah nilai universal dari konsep-konsep psikologi
Persoalan “kepribadian bangsa” muncul tatkala hubungan antar bangsa mulai kian intensif, terutamasesudah perang dunia ke-1. Sebelum itu, orang eropa juga menaruh perhatian terhadap masalah kepribadian bangsa-bangsa di tanah jajah mereka. Deskripsi tentang kepribadian suatu bangsa dalam karangan-karangan etnografi zaman lampau itu biasanya menggunakan berbagai konsep dan istilah yang tak cermat dan kasar. Istilah tersebut mengenai penggunaan metode-metode ilmu sosial untuk menopang kesimpulan umum yang bersifat subjektif tentang perbedaan jenis kepribadian antarmasyarakat yang kompleks. Orang belanda yang menjajah bangsa indonesia, misalnya melukiskan kepribadian suku bangsa sebagai malas, tak aktif, tak bergairah dalam tindakan (indolent), dan tidak jujur. Selain ciri-ciri kepribadian yang negatif, tiap konsep yang dipakai dalam pelukisan seperti itupun tidak cermat dipandang dari sudut ilmu psikologi. Istilah “tidak jujur” misalnya, sangat tidak cermat bila dipandang dari sudut psikologi.
Studi tentang “kepribadian bangsa” ini juga disinggung oleh Carol R. Ember dan Melvin Ember (Ihromi, 1981). Dalam tulisannya, “Theory and method in cultural antropology”, khususnya mengenai hubungan kebudayaan dan kepribadian, disebutkan bahwa fokus yang khusus dari studi-studi permulaan, awal tahun 1920-an, adalah tentang pengalaman masa kanak-kanak, dan bahwa pengalaman tersebut tampaknya mempengaruhi perilaku setelah dewasa.
Sebelum ini, tutur mereka, para ahli antropologi tidak mencatat kebiasaan-kebiasaan mengasuh anak-anak sebagai aspek penting dari kebudayaan, tetapi kemudian dibawah pengaruh freud dan penulis mengenai teori pendidikan, John dewey, para ahli antropologi menjadi tertarik pada lingkungan kebudayaan dari bayi atau kanak-kanak, dan masa itu dianggap sangat penting artinya bagi pembentukan kepribadian dewasa yang khas dalam suatu masyarakat.
Hubungan psikologi dengan antropologi, seperti telah disebutkan di muka, juga dalam hal munculnya cabang baru antropologi, yaitu Antropology in metal health.
Bidang penelitian dan pembahasan Antropology in metal health ini lebih difokuskan pada emosi-emosi yang tertekan. Di antara berbagai penyakit jiwa yang diobati oleh para ahli penyakit jiwa (psikiater), ternyata ada yang tidak disebabkan oleh kelainan-kelainan biologis atau kerusakan dalam organisme, melainkan karena jiwa dan emosi yang tertekan. Dan keadaan jiwa yang tertekan ini lebih disebabkan oleh aspek-aspek sosial budaya. Aspek sosial budaya yang melatar belakangi inilah yang merupakan kajian dari Antropology in metal health.
3.    Hubungan psikologi dengan ilmu politik
Ilmu pengetahuan lain yang erat hubungannya dengan psikologi ialah ilmu politik. Kegunaan psikologi, khususnya psikologi sosial dalam analisis politik, jelas dapat kita ketahui apabila kita sadar bahwa analisis politik, jelas dapat kita ketahui apabila kita sadar bahwa analisis sosial politik secara makro diisi dan diperkuat analisis yang bersifat mikro. Psikologi sosial mengamati kegiatan manusia dari segi ekstern (lingkungan sosial, fisik, peristiwa-peristiwa, gerakan-gerakan massa) maupun dari segi intern (kesehatan fisik perseorangan, semangat, emosi).
Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peran penting dalam bidang politik, terutama yang dinamakan “massa psikologi”.
Justru karena prinsip-prinsip politik lebih luas dari pada prinsip-prinsip hukum dan meliputi banyak hal yang berada diluar hukum dan masuk dalam yang lazim dinamakan “kebijaksanaan”, bagi para politisi, sangat penting apabila mereka dapat menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumnya, dan dari golongan tertentu pada khususnya, bahkan juga dari oknum tertentu.
Kerap terdengar suara dalam masyarakat bahwa tindakan tertentu pemerintah dinyatakan “psikologis” kurang baik. Biasanya, suara ini tidak dijelaskan lebih lanjut, dan orang-orang dianggap dapat menangkap apa yang dimaksudkan.
Selain memberi berbagai pandangan baru dalam penelitian mengenai kepemimpinan, psikologi sosial dapat pula menerangkan sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan yang dianggapnya baru, asing, ataupun berlawanan dengan konsensus masyarakat mengenai gejala sosial tertentu.
Psikologi sosial juga bisa menjelaskan bagaimana sikap (attitude) dan harapan (expectation) masyarakat dapat melahirkan tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh pada tuntutan sosial (conformity).
Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum adalah berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi memilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.
Untuk memahami perilaku memilih, bisa digunakan beberapa pendekatan. Namun selama ini, penjelasan teoritis tentang voting behavior didasarkan pada dua model atau pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi dan pendekatan psikologi[5].
Dalam hal pendekatan psikologis, seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini, para pemilih di AS menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.
4.    Hubungan psikologi dengan ilmu komunikasi
Banyak ilmuan dari berbagai disiplin memberikan sumbangan kepada ilmu komunikasi, antara lain Harold D. Lasswell (ilmu politik), Max Weber, Daniel Larner, dan Everett M. Rogers (sosiologi), Carl I. Hovland dan paul lazarfeld (psikologi), Wilbur Schramm (bahasa), serta Shannon dan Weaver (matematika dan tekhnik). Tidak mengherankan bila banyak disiplin telah terlibat dalam studi komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menurut fisher[6] bermakna bahwa komunikasi memang mencakup semuanya, dan bersifat sangat efektif (menggabungkan berbagai bidang).
Apabila kita cermati, eklektisme komunikasi sebagai suatu bidang studi, tampak pada konsep-konsep komunikasi yang berkembang selama ini yang berhasil dirangkum oleh Fisher (1984) dalam empat kelompok yang disebutnya perspektif (semacam paradigma, teori, atau model). Keempat perspektif itu ialah : (1) perspektif mekanistis, (2) perspektif psikologis, (3) perspektif interaksional, dan (4) perspektif pragmatis.
Pengaruh konsep ilmu fisika sangat kelihatan pada perspektif mekanistis, yang merupakan perspektif paling awal dan paling luas penganutnya. Lalu, pengaruh psikologi paling jelas pada perspektif psikologis yang merupakan pengembangan dari perspektif mekanistis dengan menerapkan teori S-R (Stimuli-Respons). Kedua perspektif ini berkembang dan telah melahirkan banyak kajian.
Seperti halnya psikologi, ilmu komunikasi yang telah tumbuh sebagai ilmu yang berdiri sendiri kemudian melakukan “perkawinan” dengan ilmu-ilmu lainnya yang pada gilirannya melahirkan berbagai subdisiplin seperti: komunikasi politik (dengan ilmu politik), sosiologi komunikasi massa (dengan sosiologi), dan psikologi komunikasi (dengan psikologi). Dengan demikian, psikologi komunikasi pun didefinisikan sebagai “ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi”[7].
Komunikasi, menurut rakhmat, adalah peristiwa sosial – peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Mencoba menganalisis peristiwa sosial secara psikologis, membawa kita pada psikologi sosial. Memang, bila ditanyakan letak psikologi komunikasi, kita cenderung meletakkannya sebagai bagian dari psikologi sosial. Karena itu, menurut Jalaluddin Rachmat, pendekatan psikologi sosial juga merupakan pendekatan psikologi komunikasi.
5.    Hubungan psikologi dengan biologi
Sejauh mana hubungan psikologi dengan biologi? Biologi mempelajari kehidupan jasmaniah manusia atau hewan, yang bila dilihat dari objek materialnya, terdapat bidang yang sama dengan psikologi, hanya saja objek formalnya berbeda. Objek formal biologi adalah kehidupan jasmaniah (fisik), sedangkan objek formal psikologi adalah kegiatan atau tingkah laku manusia.
Menurut Bonner[8], perbedaan perbedaan psikologi dan biologi adalah sebagai berikut. Psikologi merupakan ilmu subjektif, sedangkan biologi adalah ilmu yang objektif. Psikologi disebut ilmu yang subyektif karena mempelajari pengindraan (Sensation) dan persepsi manusia sehingga manusia dianggap sebagai subjek atau pelaku, bukan objek. Sebaliknya, biologi mempelajari manusia sebagai jasad atau objek. Jadi, perbedaan selanjutnya antara psikologi dan biologi adalah psikologi mempelajari nilai-nilai yang berkembang dari persepsi subyek, sementara biologi mempelajari fakta yang diperoleh dari penelitian terhadap jasad manusia. Yang terakhir adalah psikologi mempelajari perilaku secara “molar” (perilaku penyesuaian diri secara menyeluruh), sementara biologi (termasuk ilmu faal) mempelajari perilaku manusia secara “molekular”, yaitu mempelajari molekul-molekul (bagian-bagian) dari perilaku berupa gerakan, refleks, proses kebutuhan dan sebagainya.


6.    Hubungan psikologi dengan ilmu alam
Pada permulaan abad ke-19, psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu alam. Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen, sehingga lahirlah antara lain, Gustav Fechner, Johannes Muller, Watson, dan lain-lain[9]. Namun kemudian, psikologi menyadari bahwa objek penyelidikannya adalah manusia dan tingkah lakunya yang hidup dan selalu berkembang, sedangkan objek ilmu alam adalah benda mati. Oleh sebab itu, metode ilmu alam yang dicoba diharapkan dalam psikologi, dianggap kurang tepat. Karena itu, psikologi mencari metode lain yang sesuai dengan sifat keilmuannya sendiri, yaitu antara lain metode “fenomenologi”, suatu metode penelitian yang menitikberatkan gejala hidup kejiwaan.
Pada dasarnya, psikologi secara prnsipil dan secara metodik, sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan alam. Sebabnya, antara lain, pada ilmu pengetahuan alam, orang meneliti objeknya secara murni ilmiah, dengan menggunakan hukum-hukum dan gejala-gejala penampakan yang bisa diamati dengan cermat.
Pada peristiwa-peristiwa ilmu alam, terdapat unsur-unsur kemantapan, konstansi dan konsistensi, yaitu semua gejalanya bisa berlangsung secara berulang-ulang dan bisa tetap sama. Dengan ciri-ciri inilah, orang bisa mengamati dan memperhitungkan dengan cermat, dan membuat hukum-hukum alam. Lebih-lebih dengan bantuan pengertian logis serta perhitungan ilmu pasti, orang mencoba memahami sifat dan hakikat objek penelitiannya.
Sebaliknya, psikologi berusaha mempelajari diri manusia, tidak sebagai “objek” murni, tetapi dalam bentuk kemanusiaannya, mempelajari manusia sebagai subjek yang aktif dan mempunyai sifat-sifat tertentu subjek yang aktif itu diartikan sebagai pelaku yang dinamis, dengan segala macam aktifitas dan pengalamannya. Dengan demikian, untuk mampu memahami semua kegiatan manusia itu, orang berusaha dengan melihat “partisipasi sosial” nya, lalu berusaha menjadikan pengalaman orang lain sebagai pengalaman dan pemiliknya sendiri.
7.    Hubungan psikologi dengan filsafat
Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Dalam penyelidikannya, filsafat memang berangkat dari apa yang dialami manusia, karena tak ada pengetahuan jika tidak bersentuhan lebih dahulu dengan indra, sedangkan ilmu yang hendak menelaah hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan pikiran, tanpa menggunakan dalil dan hukum pikiran yang tidak mungkin dialaminya. Bahkan, ilmu dengan amat tenang menerima sebagai kebenaran dan tidak pernah diselidiki oleh ilmu, sampai dimana dan bagaimana budi manusia dapat mencapai kebenaran itu.
Sebaliknya, filsafat pun memerlukan data dari ilmu. Jika, ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini, ilmu yang bernama psikologi akan menolong filsafat sebaik-baiknya dengan hasil penyelidikannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi[10].
Dalam berbagai literatur disebutkan, sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri, psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan filsafat yang hingga sekarang masih tampak pengaruhnya, Dalam ilmu kedokteran, psikologi berperan menjelaskan apa-apa yang terpikir dan terasa oleh organ-organ biologis (jasmaniah). Adapun dalam filsafat yang sebenarnya “ibu kandung” psikologi itu, psikologi berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan akal, kehendak, dan pengetahuan.
Bruno, seperti dikutip Syah[11],membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “roh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidupan mental”. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkah laku” organisme.
Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bercita rasa tinggi dan bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan dengan rohnya. Oleh karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia merupakan bagian dari studi tentang roh.
8.    Hubungan psikologi dengan ilmu pendidikan
Sebenarnya, psikologi dan ilmu pendidikan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengapa? Karena keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Ilmu pendidikan sebagai suatu disiplin bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak ia lahir sampai mati. Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik bilamana tidak berdasarkan kepada psikologi perkembangan. Demikian pula watak dan kepribadian seseorang ditunjukkan oleh psikologi. Karena begitu eratnya tugas antara psikologi dan ilmu pendidikan, kemudian lahirlah suatu subdisiplin psikologi pendidikan (education psichology).
Reber[12] menyebut psikologi pendidikan sebagai sub disiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal berikut:
1.    Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
2.    Pengembangan dan pembaruan kurikulum.
3.    Ujian dan avaluasi bakat dan kemampuan.
4.    Sosialisasi proses-proses dan interaksi dengan pendayagunaan ranah kognitif.
5.    Penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Dengan batasan atau pengertian di atas, Reber tampaknya menganggap bahwa psikologi pendidikan  masuk dalam subdisiplin psikologi terapan (applicable).
Meskipun demikian, menurut Witherington[13], psikologi pendidikan tidak dapat hanya dianggap sebagai psikologi yang dipraktikkan saja. Psikologi pendidikan, katanya, adalah suatu studi atau suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai hak hidup sendiri. Memang benar bahwa aspek-aspek tertentu dari psikologi pendidikan nyata-nyata bersifat kefilsafatan, tetapi sebagai suatu ilmu pengetahuan, sebagai sciente, psikologi pendidikan telah memiliki:
1.    Susunan prinsip atau kebenaran dasar tersendiri,
2.    Fakta-fakta yang bersifat obyektif dan dapat diperiksa kebenarannya,dan
3.    Teknik-teknik yang berguna untuk melakukan penyelidikan atau “research”-nya sendiri, termasuk dalam hal ini ialah alat-alat pengukur dan penilai yang sampai pada batas-batas tertentu dapat dipertanggung jawabkan ketepatannya.
Di antara alat-alat pengukur dan alat penilai ini, terdapat tes tentang hasil perkembangan jiwa anak. Kedua tes ini lazim disusun dengan sangat hati-hati. Di laboratorium, misalnya, untuk mengetahui ada atau tidaknya kesalahan mekanis dalam kebiasaan membaca anak-anak, diadakan pemotretan terhadap gerakan mata anak-anak pada waktu membaca dengan mempergunakan ophthalmograph. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan suara yang menyenangkan dan untuk memperoleh pemilihan kata-kata yang tepat pada waktu berbicara, diadakan perekaman terhadap latihan-latihan bercakap yang dilakukan.
Jadi, meskipun psikologi pendidikan cenderung dianggap oleh banyak kalangan atau para ahli psikologi, termasuk ahli psikologi pendidikan sendir, sebagai subdisiplin psikologi yang bersifat terapan atau praktis, bukan teoritis, cabang psikologi ini dipandang telah memiliki konsep, teori, dan metode sendiri, sehingga mestinya tidak lagi dianggap sebagai subdisiplin, tetapi disiplin (cabang ilmu) yang berdiri sendiri.
B.     Metode-metode psikologi
Metode (Yunani: methodos) adalah cara atau jalan[14]. Dalam konteks ilmiah, metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Manusia telah mengembangkan metode untuk mengatasi terbatasnya pikiran, yaitu metode studi yang mempunyai sifat ilmiah. Lalu, apakah sumbangan yang yang diberikan psikologi ilmiah? Tugas utamanya adalah menjelajah melewati batas-batas akal sehat dan desas-desus dan meninjau apa yang sebenarnya terjadi dengan cara seobjektif mungkin. Apakah pernyataan tertentu sesuai dengan fakta? Apakah teori tertentu merupakan penjelasan yag memadai? Demikian seterusnya.
selain mempunyai objek tertentu, psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri juga mempunyai metode untuk mendapatkan fakta, kesimpulan, dugaan, hipotesis, teori, dan dalil-dalil baru untuk memajukan, mengembangkan, atau mengadakan pengujian dan pembuktian. Pekerjaan ilmiah dilakukan dengan tujuan menghilangkan kesangsian memperoleh kebenaran dan ketetapan dalam memahami dan meramalkan tingkah laku manusia[15].
Psikologi, sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, telah menggunakan metode-metode ilmiah dalam mengumpulkan data dan informasinya. Yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah “suatu cara kerja yang mengikuti prosedur ilmiah untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan suatu ilmu pengetahuan”[16].
Suatu metode bersifat ilmiah, antara lain, memiliki ciri-ciri:
1.    Objektif, artinya dapat memberikan data atau informasi yang benar, sesuai dengan keadaan objek yang sesungguhnya;
2.    Adekuat (adequate), artinya memadai, sesuai dengan masalah dan tujuannya;
3.    Reliable, artinya, dapat dipercaya, memberikan informasi yang tepat dan tepat;
4.    Valid, artinya dapt dipercaya (sahih), sesuai dengan objeknya (kenyataan);
5.    Sistematis, artinya memberikan data/informasi yang tersusun baik, sehingga memudahkan penarikan kesimpulan, dan
6.    Akurat (accurate), artinya memberikan data/informasi dengan teliti.
Sebenarnya, istilah “ilmu pengetahuan” (scientific) itu sendiri mengandung arti bahwa metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data senantiasa memperhatikan hal-hal berikut:
1.    Tidak boleh memiliki bias, artinya tidak memihak salah satu hipotesis, dan
2.    Objektif, artinya memungkinkan ahli berkualifikasi lain untuk mengulang observasi dan mendapatkan hasil yang sama.
Menurut sherif[17], metode ilmiah bukan hanya merupakan sekarung teknik. Dalam menggarap problema (sosial) dengan faktor-faktor yang kompleks dan rumit, banyak teknik yang telah digunakan, termasuk didalamnya observasi, eksperimen, angket, skala, penilaian, tes-tes, wawancara, pengukuran sosiometrik, analisis bahan (conten analysis), dan lain-lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan. Jika memungkinkan, eksperimen lebih disarankan selama tidak merubah sifat hakikat esensi problema yang diselidiki.
Psikologi sesungguhnya memiliki banyak metode. Berikut ini adalah beberapa diantaranya.

1.    Metode Eksperimental
Metode eksperimentalmerupakan observasi atau pengamatan terhadap suatu kejadian atau gejala yang berlangsung di bawah kondisi atau syarat tertentu. Dalam psikologi, metode eksperimental bermaksud menyelidiki pengaruh kondisi tertentu terhadap tingkah laku individu.
Pada tahun 1971, Fehsbach dan Singer mengadakan penelitian selama enam minggu di sekolah-sekolah panti. Dalam kasus ini, sekolah-sekolah tersebut berfungsi sebagai lingkungan “laboratorium” yang terkontrol, karena disana kedua pengeksperimen mempunyai kontrol atau aktivitas dan pemirsaan televisi oleh subyek (semua anak laki-laki). Semua anak laki-laki menonton televisi selama minimum enam jam per minggu. Anak-anak yang termasuk kelompok eksperimental harus memilih acara dari daftar film yang menonjolkan kekerasan, sementara yang termasuk kelompok kontrol harus memilih daftar acara yang tidak menonjolkan kekerasan. Perilaku agresif mereka diukur lewat tes kepribadian yang dilakukan pada awal dan akhir keenam minggu tersebut dan lewat neraca banding perilaku yang dibuat oleh guru atau orang tua. Kedua pengeksperimen ini mendapatkan kesimpulan bahwa secara umum pemirsaan acara televisi yang menonjolkan kekerasan selama enam minggu tidak menyebabkan meningkatnya perilaku agresif[18].
Ciri esensial dari metode eksperimental, menurut silva dan lunt, meliputi variabel. Pengeksperimen mempunyai gagasan atau perkiraan yang diformulasikannya sebagai hipotesis penelitian dan ia memanipulasi atau mengubah satu variabel untuk melihat efek yang ditimbulkan perubahan tersebut terhadap variabel lain. Variabel yang dimanipulasinya (misalnya jumlah waktu untuk menonton televisi) disebut variabel bebas, sedangkan variabel yang efek atau perubahannya ia ukur adalah variabel tak bebas (keletihan pada keesokan pagi). Agar yakin bahwa perubahan yang diobservasi pada variabel tak bebas disebabkan oleh variabel bebas dan bukan karena faktor lain pada subyek atau lingkungan, ia melakukan eksperimen tersebut dalam kondisi yang dikontrol dengan cermat, seperti sebuah laboratorium, tempat segala sesuatu dapat dipertahankan kekonstanannya, kecuali untuk satu faktor yang tengah dimanipulasinya.
Perilaku manusia jelas dipengaruhi banyak faktor, ada yang tidak diketahui pengeksperimen atau subjek itu sendiri, namun pengeksperimen harus berusaha sebaik mungkin untuk menyingkirkan sebanyak mungkin faktor, sehingga ia bisa menemukan efek atau faktor yang menjadi minatnya.
Dengan memanipulasi satu variabel sambil mengontrol yang lain, ahli psikologi dapat menarik kesimpulan mengenai sebab-akibat dengan tingkatan keyakinan yang tidak mungkin diperoleh dengan metode non-eksperimental.
Apa yang dimaksud variabel tersebut adalah segala sesuatu yang bervariasi (atau berubah) atau dibuat bervariasi (atau berubah). Dalam eksperimen yang ideal, pengeksperimen memanipulasi variabel bebas, menjaga agar semua variabel konstan, sementara ia mengobservasi dan mengukur perubahan pada variabel tak bebas. Dalam eksperimen diatas, acara televisi yang menonjolkan dan tidak menonjolkan kekerasan (dimanipulasi oleh pengeksperimen) adalah variabel bebasnya, sedangkan variabel tak-bebasnya adalah perilaku agresif anak laki-laki tersebut.
Eksperimen dalam laboratorium mempunyai kelebihan, yaitu dapat mengontrol lingkungan sehingga ahli psikologi dapat memilih faktor-faktor tersebut (sementara yang lain dipertahankan kekonstanannya). Misalnya, jika ia ingin menemukan efek kurang tidur pada prestasi belajar anak berusia sepuluh tahun, ia mungkin membawa sekelompok anak berusia sepuluh tahun ke dalam laboratorium dan mencoba mempertahankan kekonstanan lingkungan dan aktivitas mereka, kecuali untuk jumlah waktu tidur. Kemudian, ia mungkin membandingkan kelompok yang tidur sepuluh jam pada malam hari seperti seharusnya dan yang hanya tidur tiga jam. Ia,misalnya, berusaha menjaga agar anak-anak tersebut mendengar suara ribut yang sama dan bahwa ada yang tidak meminum kopi. Dalam lingkungan yang terkontrol, tiap perbedaan di antara kelompok anak berusia sepuluh tahun tersebut, dapat diasumsikan dengan lebih yakin bahwa memang ada kaitan antara prestasi belajar dan faktor kurang tidur.
Sebaliknya, metode laboratorium kerap dikritik karena menciptakan situasi artifisial[19]. Orang dalam laboratorium berperilaku jauh berbeda dari kehidupan riil, sehingga kesimpulan apapun yang diambil dari laboratorium, hanya dapat diterapkan dengan hati-hati di tempat lain. Kita tidak mungkin memanipulasi manusia dengan cara yang mungkin bisa digunakan untuk memanipulasi, misalnya, volume gas atau temperatur benda cair. Oleh karena itu, generalisasi dari laboratorium terhadap kehidupan manusia adalah berbahaya. Ahli psikologi perlu menyadari sulitnya menggeneralisasi sesuatu dari laboratorium ke kehidupan riil, namun beberapa penemuan penting dan menarik, pernah berlangsung disana.
2.    Metode Non-eksperimental
Pada dasarnya, metode eksperimental hanyalah salah satu dari sekian banyak cara yang dilakukan para ahli psikologi untuk mengkaji perilaku. Pengkajian perilaku tidak selalu dapat atau perlu dilakukan di laboratorium. Bayi yang masih kecil, umpamanya, mungkin berprilaku amat berbeda di laboratorium dengan di rumah bersama orang dan mainan yang dikenalnya di sekitar dirinya.
Jadi, terdapat banyak cara untuk mengumpulkan informasi di luar laboratorium, ada yang formal dan tepat, ada pula yang tidak terlalu formal. Kita mungkin bisa melihat seorang ahli psikologi yang duduk di sudut kelas sebuah taman kanak-kanak untuk merekam atau mengobservasi anak tertentu yang sedang bermain (inilah yang disebut observasi naturalistik), atau mungkin ia membuat catatan secara rinci dan merekonstruksi riwayat masa lalu subjek (kajian kasus), ia mungkin mengunjungi tempat-tempat ramai untuk mewawancara sekelompok orang sebagai sampel guna mendapatkan pandangan mereka mengenai anak-anak (survei), atau ia mungkin mengumpulkan fakta dari sebuah pusat kesehatan yang besar untuk mencari kemungkinan hubungan antara merokok dan kanker paru-paru (metode korelasional).
a.    Metode Observasi
Psikologi sebenarnya selalu berurusan dengan observasi. Perhatiannya terletak pada pengobservasian perilaku, perekaman atau pengukuran peristiwa, dan penguji cobaan sesuatu untuk menarik kesimpulan. Akan tetapi, psikologi berawal dari observasi, sehingga bisa didefinisikan sebagai kajian (atau observasi) ilmiah mengenai perilaku.
Observasi secara cermat terhadap perilaku burung dan manusia merupakan titik awal untuk banyak riset (penelitian) dalam psikologi.
Dalam bukunya Introduction to Psychology, Rita L. Atkinson dan kawan kawan mengingatkan, dalam melakukan observasi terhadap perilaku yang terjadi secara alami, terdapat resiko munculnya penafsiran yang menggelikan ketimbang deskripsi objektif. Kata mereka, kita mungkin tergoda, misalnya, untuk mengatakan bahwa hewan yang kita ketahui telah lama tidak mendapatkan makanan sedang “mencari-cari makan” saat kita melihat tingkat aktivitasnya meningkat. Menurut mereka, para peneliti harus terlatih untuk mengamati dan mencatat secara akurat untuk menghindari masuknya bias pribadi dalam hasil laporannya.
Metode observasi dalam psikologi banyak dilakukan untuk mempelajari tingkah laku anak-anak, interaksi sosial, aktivitas keagamaan, peperangan, aktivitas kejahatan, dan kejadian lain yang tidak dapat di eksperimenkan. Pada hakikatnya, eksperimen merupakan salah satu metode observasi yang dibatasi dengan menciptakan kondisi-kondisi tertentu.
Observasi atau pengamatan terhadap perkembangan hidup seseorang sejak lahir disebut metode perkembangan (developmental or generic method), sedangkan data atau hipotesis yang dicari melalui riwayat hidup seseorang dengan menanyakan kepada orang itu sendiri, atau orang-orang yang mengenalnya, atau melalui catatan-catatan mengenai orang itu disebut metode riwayat hidup (case history method).
b.    Metode Studi Kasus (Case Study/Case History)
Sebagian studi kasus yang paling terkenal adalah yang dibuat oleh Freud[20], berikut ini.
Peristiwa terjadi di Wina, sebelum peralihan abad ini. Seorang dokter berpenampilan sederhana, hampir dapat dikatakan puritan, mengejutkan dunia kaum terpelajar. Ketika itu, sang dokter memproklamasikan bahwa asal muasal cinta pada anak-anak adalah daya tarik seksual. Bayangkanlah situasinya. Di hadapan para hadirin terhormat yang terdiri atas dokter-dokter zaman Victoria, Sigmunt Freud muda menyajikan teori rumit yang mengklaim bahwa anak-anak dalam keluarga biasa, kerap diseduksi (seduced) oleh orang tuanya. Ketua sidang menyatakan kuliah Freud sebagai “dongeng nina-bobo ilmiah, dan Freud, dalam suratnya beberapa hari kemudian kepada sahabatnya, menggambarkan kuliah tersebut “keledai-keledai itu menyambutnya dengan dingin”.
Kejadian-kejadian sebelumnya yang mengantar pada kuliah Freud, tahun 1896 itu, bagai kisah detektif. Apakah gerangan yang mendorong timbulnya pandangan yang mengejutkan tersebut?
Sebagai seorang neurolog (spesialis saraf) muda, Freud dan sejawatnya, Josef Breuer, menjumpai banyak pasien yang menderita penyakit tanpa sebab yang jelas. Pasien dengan penyakit yang dikenal sebagai histeria, terserang berbagai gejala, termasuk kebutaan, kehilangan ingatan, dan kelumpuhan (paralisis). Masih sedikit yang diketahui mengenai penyakit tersebut, walaupun secara riil, berlawanan dengan bukti neurologis.
Misalnya, seorang pasien melaporkan bahwa ia mengalami suatu pola kelumpuhan tubuh, yang secara fisiologis tidak mungkin terjadi. Pada waktu hal itu terjadi, bentuk penyakit misterius tersebut sesuai dengan pandangan orang awam mengenai fungsi tubuh anatomi tidak ada tetapi tidak demikian menurut Freud, histeria “berprilaku seperti atau seperti tidak mengetahui anatomi”. Serangan histeria dari orang yang berpura-pura akan menghilang jika orang itu merasa tidak sedang diamati, sementara pada penderita histeria, gejala tersebut tetap dijumpai.
Sambil menelusuri penyebab histeria, Freud dan rekan-rekan sejawatnya memulai penelitian formal terhadap bidang jiwa manusia, yang biasanya tidak diperhitungkan – alam bawah sadar.
Freud, dan sejawatnya Josef Breuer, percaya bahwa gejala histeris kerap didahului rasa takut yang hebat. Salah seorang pasien yang membuat mereka meyakini hal ini adalah seorang wanita yang disebut nona Anna O. Wanita ini mulai dirawat oleh Breuer pada usia 21. Sebelum perawatan tersebut, Anna harus merawat ayahnya yang menderita sakit parah. Salah satu gejala yang menyerang Anna adalah kelumpuhan lengan kanan. Breuer yakin bahwa ia telah menemukan penyebabnya, yaitu rasa takut yang tidak dapat diingat wanita tersebut.
Breuer menuturkan kasus tersebut seperti berikut: Pada suatu larut malam, sementara menunggui ayahnya, Anna duduk di kursi dekat sisi ranjang ayahnya, dengan tangan kanan disenderkan melintang pada kepala kursi. Ia tengah berharap-harap cemas menunggu kedatangan dokter. Namun, dalam keadaan lelah, ia “melihat” seekor ular besar merayap hendak menggigit ayahnya dan ingin menyelamatkan ayahnya dari “serangan” itu. Akan tetapi, lengan yang hendak digunakannya, lengan kanan, “tertidur” dan ia tidak dapat bergerak.
Breuer berhasil mengorek urut-urutan peristiwa yang menakutkan ini, sementara ia menjalankan apa yang disebut Anna sebagai “penyembuhan melalui bicara”. Dalam penyembuhan tersebut, ia menceritakan kembali pada Breuer mengenai pikiran, mimpi, dan khayalannya. Untuk setiap gejala, dari banyak gejala yang diidapnya, Breuer mampu menelusuri asal muasal rasa takut dan emosi kuat lain yang tidak diungkapkan ketika pertama kali tergugah. Pada saat peristiwa pencetusnya berhasil diidentifikasi dan perasaan tersumbat dilepaskan, gejala pun menghilang.
Breuer dan Freud kemudian mempublikasikan teori mereka dalamStudies in Hysteria. Mereka mengklaim bahwa histeria adalah konsekuensi dari emosi yang tidak dapat ditolerir dan tidak dapat diungkapkan ketika emosi tersebut tergugah. Emosi tersebut berlanjut dalam bentuk internal, hampir terjepit. Tetapi berupa bantuan terhadap pasien untuk membawa seluruh kekuatan perasaannya. Kelumpuhan lengan Anna O, misalnya, menghilang ketika dalam ruang konsultasi, ia mengungkapkan kengerian yang tidak dapat ia lepaskan dalam kamar tidur ayahnya yang terbaring sakit.
Begitulah, kasus Anna O, seperti telah disinggung di muka, adalah salah satu kajian kasus Freud yang paling terkenal. Dari rekonstruksi, terinci masa lalu Anna O dan peristiwa-peristiwa bermakna dalam hidupnya. Freud dapat menelusuri sumber persoalan neurotik wanita tersebut sampai ke peristiwa pada masa awal kanak-kanaknya.
c.    Metode survei
Survei adalah suatu metode yang bertujuan mengumpulkan sejumlah besar variabel mengenai sejumlah besar individu melalui alat pengukur wawancara[21]. Devinisi tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut.
(1). Individu adalah satuan penelitian.
Data dikumpulkan melalui individu dengan tujuan agar melalui generalisasi, kita dapat menarik kesimpulan mengenai suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, suatu survei bertujuan menyifatkan suatu masyarakat berdasarkan data yang dikumpulkan pada individu, dan sepanjang ada hubungan masalah yang ingin diteliti.
(2). Variabel yang dikumpulkan dalam metode survei pada prinsipnya tidak terhingga banyaknya, mulai dari variabel seperti latar belakang responden berupa jenis kelamin, umur, agama, pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa, dan sebagainya, sampai sikap dan pandangan responden, lingkungan sosial manusia, kelakuan manusia, dan juga mengenai ciri-ciri khas demografis dari suatu kelompok manusia.
(3). Alat pengukur yang dipakai adalah wawancara berupa daftar pertanyaan yang berbentuk suatu schedule atau kuesioner, yang biasanya sangat berstruktur.
Apabila bermaksud mengumpulkan data yang relatif terbatas dari sejumlah kasus yang relatif besar jumlahnya, metode yang bisa digunakan adalah metode survei. Metode ini lebih menekankan pada penentuan informasi mengenai variabel ketimbang informasi tentang individu[22].
Survei digunakan untuk mengukur berbagai fenomena yang ada. Dalam penelitian seperti ini, kita tak perlu memperhitungkan hubungan antar variabel. Tujuan pokok kita ialah memanfaatkan data yang kita peroleh untuk memecahkan masalah dari pada untuk menguji hipotesis.
Pada dasarnya, survei mempunyai dua lingkup, yaitu survei sensus dan survei sampel. Sensus adalah survei yang meliputi seluruh populasi yang diinginkan, sedangkan survei sampel adalah survei yang dilakukan hanya pada sebagian kecil dari suatu populasi.
Kita bisa menggunakan survei untuk menabulasi objek-objek nyata atau mengukur hal-hal yang tidak nyata seperti pendapat atau pencapaian prestasi tertentu, misalnya survei tentang pendapat umum, mengukur konstruk, sedangkan menghitung suara hasil suara pemilihan umum adalah mengukur objek-objek nyata.
Perlu dicatat bahwa Charles Booth adalah bapak dari survei-survei yang bernada ilmiah[23].
Booth, seperti ditulis Vredenbregt, adalah seorang kaya raya, pemilik kapal laut asal Liverpool (Inggris) yang tergerak oleh kesengsaraan kelas buruh Inggris pada akhir abad ke-19. Booth, melalui metode survei, mengumpulkan data mengenai kemiskinan dan pekerjaan kaum buruh di London. Dari hasil penelitiannya, Booth menerbitkan satu buku yang terdiri atas 17 jilid, berjudul Labour and Life of the People of London. Penerbitan dilakukan di antara tahun 1886 dan 1902. Hasil penerbitan Booth menggemparkan masyarakat inggris dan memberikan dampak politik yang sangat luar biasa.
Survei dari Boothbersifat deskriptif. Ia bekerja dengan suatu klasifikasi yang terdiri atas delapan kelas, yaitu empat kelas di atas dan empat kelas di bawah garis kemiskinan (poverty line).
Meskipun definisi yang dipakai bagi kedelapan kelas tidak selalu tepat, sehingga banyaknya tumpang tindih, penelitian Booth bisa dibilang sebagai pekerjaan perintis dalam ilmu sosial yang mempunyai jangkauan ilmiah sangat luas.
Sepeninggal Booth, dilakukan banyak perubahan berupa perbaikan dalam teknik survei, namun pola umum dari Booth, secara garis besar masih tetap dipakai. Di negeri kelahirannya, sejak 1941, didirikan “The Government Social Survey”, yang sekarang menjadi bagian dari “Office of Population Censuses and Surveys” (Kantor Sensus dan Survei Penduduk). Di negara tetangga kita, Singapura, lembaga serupa sejak lama juga telah memainkan peranan penting.
Peranan metode survei, menurut Vredenbregt, tidak saja seperti pada zaman Booth, terbatas pada penelitian kemiskinan, tetapi dipakai pula untuk beraneka ragam tujuan, seperti penelitian pemasaran (market research) dan pengukuran pendapat umum (public opinion polls).
Banyaknya hasil penelitian dari metode survei juga diakui Rita L. Atkinson dan sejawatnya. Sebagai contoh, dalam riset Masters dan Johnson tentang respons seksual, sebagian informasi tentang bagaimana manusia berperilaku secara seksual (berlawanan dengan bagaimana mereka seharusnya berperilaku menurut hukum, agama, atau masyarakat) berasal dari survei luas yang dilakukan oleh Alfred Kinsey dan sejawatnya 20 tahun lebih awal. Informasi dari ribuan individu yang diwawancarai, kemudian dianalisis dan menjadi dasar untuk menyusun buku Sexual Behavior in the Human Male dan Sexual Behavior in the Human Female.
Survei berguna bagi politikus dan pengiklan, serta bermanfaat juga bagi ahli psikologi, terutama jika hendak meneliti topik-topik seperti efek perumahan pada kemampuan membaca atau berbagai cara mendisiplinkan anak pada berbagai kelompok etnis. Walaupun tidak membentuk sebab-akibat dalam akibat dalam perilaku, survei dapat menelurkan gagasan untuk penelitian lebih jauh dan lebih rinci.
d.   Metode Korelasional
Metode korelasional digunakan untuk meneliti hubungan di antara berbagai variabel. Dengan kata lain, metode korelasional bermaksud mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berhubungan dengan variasi-variasi atau lebih faktor lain berdasarkan koefisien korelasinya[24].
Melalui metode korasional, kita bisa memastikan, berapa besar yang disebabkan oleh satu variabel dalam hubungannya dengan variasi yang disebabkan oleh variabel lain. Kita menggunakan pengukuran korelasi untuk menentukan besarnya arah hubungan. Dalam metode korelasi ini, kita mengumpulkan dua atau lebih perangkat nilai dari sebuah sampel peserta, kemudian kita menghitung hubungan antarperangkat tersebut. Sebagi contoh, jika kita menguji hipotesis tentang hubungan antara kreativitas dan kemampuan mental pada sampel mahasiswa, nilai dari dua variabel tersebut dikumpulkan, lalu dihitung korelasi koefisien antara dua perangkat tersebut.
Penelitian korelasi tidak memerlukan sampel yang besar[25]. Diasumsikan jika ada pertalian, hal itu merupakan bukti bahwa sampel yang digunakan mewakili populasi yang kita selidiki dan instrumen yang digunakan dapat dipercaya dan sahih. Karena itu, yang sangat penting dalam memilih dan menggambarkan instrumen, adalah memperoleh hubungan yang signifikan jika instrumen yang kita gunakan reliabel dan valid dalam mengukur variabel-variabel yang diselidiki. Apabila kita mengatakan bahwa ada korelasi antara tinggi dan berat badan seseorang, yang kita maksudkan sebenarnya adalah bahwa keduanya ada hubungannya: korelasi positif berarti ada hubungan positif (makin tinggi seseorang, makin berat tubuhnya), sementara korelasi negatif berarti hubungan negatif (misalnya, makin mahal harga karcis bioskop, makin sedikit penontonnya). Jelasnya, metode korelasi bertujuan mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang berhubungan satu sama lain secara positif atau negatif, meskipun tidak ada hubungan sebab-akibat di antara peristiwa-peristiwa tersebut. Jika ditemukan korelasi, itu tidak berarti bahwa satu peristiwa pasti menyebabkan peristiwa lainnya.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain, Psikologi beserta sub-sub ilmunya, pada dasarnya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lain. Hubungan itu biasanya bersifat timbal balik. Psikologi memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain, dan sebaliknya, ilmu-ilmu lain juga memerlukan bantuan psikologi. Diantara hubungan psikologi dengan ilmu pengetahuan lain adalah Hubungan psikologi dengan sosiologi, Hubungan psikologi dengan antropologi, Hubungan psikologi dengan ilmu politik, Hubungan psikologi dengan ilmu komunikasi, Hubungan psikologi dengan biologi, Hubungan psikologi dengan ilmu alam, Hubungan psikologi dengan filsafat, hubungan psikologi dengan ilmu pendidikan.
Metode (Yunani: methodos) adalah cara atau jalan. Dalam konteks ilmiah, metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. selain mempunyai objek tertentu, psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri juga mempunyai metode untuk mendapatkan fakta, kesimpulan, dugaan, hipotesis, teori, dan dalil-dalil baru untuk memajukan, mengembangkan, atau mengadakan pengujian dan pembuktian. Pekerjaan ilmiah dilakukan dengan tujuan menghilangkan kesangsian memperoleh kebenaran dan ketetapan dalam memahami dan meramalkan tingkah laku manusia. Psikologi sesungguhnya memiliki banyak metode, diantaranya adalah metode eksperimental, metode Non-eksperimental, Diantara metode Non-eksperimental ialah metode observasi, metode studi kasus, metode survei dan metode korelasional. 

B.  Saran
Semoga makalah ini bisa di bahas dan di pelajari serta menjadi suatu motivasi belajar yang mendorong mahasiswa untuk membaca dan sekaligus memahami isi dari makalah, dan kepada kita selaku penyusunnya supaya bisa bermanfaat di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, S. Takdir, Antropologi Baru, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1986.
Asfar, Muhammad, “Beberapa pendekatan dalam memahmi perilaku pemilih”, Jurnal Ilmu Politik, No.6, PT Gramedia, Jakarta, 1996.
Astrid susanto,  pendapat umum,  Binacipta,  bandung, 1985.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman, The social Construction of Reality, a Treatise in the Sociology of knowledge, Dombleday & Company, Inc., New York, 1966.
Effendi, Usman dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, Angkasa, Bandung, 1993.
Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum, Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Fisher, B. Aubrey, Teori-teori Komunikasi, Penyunting Jalaluddin Rakhmat, Remadja Karya, Bandung, 1986.
Kartono, Kartini, Psichologi Wanita, Gadis Remaja & Wanita Dewasa, Jilid 1, Alumni, Bandung, 1981.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1992.
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Remadja Karya CV, Bandung, 1984. Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1996.
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Reber, Arthur S., The Penguin Dictionary of Psychology, Pinguin Book Australia, Ringwood Victoria, 1988.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
Sevilla, Consuelo G., et al., An Introduction to Research Methods, Rex Printing Company, Inc., Philippines, 1988.
Sobur, Alex, Psikologi Umum, dalam lintasan sejarah, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1987.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.
Sylvia, Kathy & Igrid Lunt, Child Development A First Course, Basil Blackwell Ltd., 1986.
Vredenbregt, J., Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, PT Gramedia, Jakarta, 1981.
Witherington, Psikologi Pendidikan, Alih Bahasa M. Buchori, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Wuryo, Kasmiran dan Ali Syaifullah, Pengantar Ilmu Jiwa Sosial, Erlangga, Jakarta, 1983.


[1] Peter L. Berger dan Thomas Luckman, The social Construction of Reality, a Treatise in the Sociology of knowledge, Dombleday & Company, Inc., New York, 1966
[2] S. Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, (Jakarta:PT Dian Rakyat, 1986) Hal.99
[3] Astrid susanto,pendapat umum, (bandung:Binacipta, 1985) Hal.89
[4] Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu pengantar, (Jakarta:Rajawali Pers, 1987) Hal.32-33
[5] Muhammad Asfar, “Beberapa pendekatan dalam memahmi perilaku pemilih”, Jurnal Ilmu Politik, No.6, (Jakarta:PT Gramedia, 1996), Hal. 46-55
[6] B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, Penyunting Jalaluddin Rakhmat, (Bandung:Remadja Karya, 1986) Hal. 17
[7] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1994) Hal.9
[8] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta:Balai Pustaka, 1997) Hal.17
[9] Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung:Angkasa, 1993)     Hal. 8-9
[10] Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta:Rineka Cipta, 1991).
[11] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan,Suatu Pendekatan Baru, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1995) Hal.8
[12] Arthur S. Reber, The Penguin Dictionary of Psychology, (Ringwood Victoria:Pinguin Book Australia, 1988)
[13] Witherington, Psikologi Pendidikan, Alih Bahasa M. Buchori, (Jakarta:Rineka Cipta, 1991) Hal.12-13
[14] Fuad Hassan dan Koendjaraningrat, “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah,” dalam Koetjoningrat (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991) Hal.7-9
[15] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) Hal.30
[16] Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1993) Hal. 9
[17] Kasmiran Wuryo dan Ali Syaifullah, Pengantar Ilmu Jiwa Sosial, (Jakarta: Erlangga, 1983) Hal. 25-26
[18] Kathy sylvia & Igrid Lunt, Child Development A First Course, (Basil Blackwell Ltd., 1986)
[19] Kathy sylvia & Igrid Lunt, Child Development A First Course, (Basil Blackwell Ltd., 1986)
[20] Kathy sylvia & Igrid Lunt, Child Development A First Course, (Basil Blackwell Ltd., 1986)
[21] Vredenbregt, J., Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1981) Hal. 44
[22] Consuelo G Sevilla., et al., An Introduction to Research Methods, (Philippines: Rex Printing Company, Inc., 1988)
[23]J. Vredenbregt,Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1981) Hal. 44-45
[24] Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remadja Karya CV, 1984) Hal. 43 ; Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bina Aksara, 1996) Hal. 5
[25] Consuelo G Sevilla., et al., An Introduction to Research Methods, (Philippines: Rex Printing Company, Inc., 1988)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar