Jumat, 03 Mei 2019

Makalah ushul fiqih

Tidak ada komentar:

NASIKH MANSUKH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Ushul Fiqih

 Dosen Pembimbing :
Sodikin, M. Pd.I.

Disusun Oleh:
Kelompok 12
Lailatul Kiromah ( 201411001015 )
Achmad Dimyati ( 201411001054  )












SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
STIT PGRI PASURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
April, 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini kami beri judul ”Nasikh-Mansukh” dengan tujuan untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya”Nasikh-Mansukh”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena beliau  adalah  salah satu figur umat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Sodikin, M. Pd.Iselaku dosen Mata KuliahUshul Fiqih yang telah membimbing kami. Dan  kepada semua pihak yang  terlibat dalam  pembuatan  makalah ini hingga selesai.
Kami  mohon ma’af  yang  sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan  makalah  selanjutnya.

                                                                                           Pasuruan, 19 April 2016



                                                                                                       Penyusun

DAFTAR ISI

Cover............................................................................................................  i
Kata Pengantar............................................................................................ ii
Daftar Isi....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................   1
B. Rumusan Masalah..........………...............................................   2
C. Tujuan Penulisan......................................................................    2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh Mansukh.....................................................  3
B.  Syarat-syarat Nasakh Mansukh ................................................ 7
C. Rukun Nasakh Mansukh............................................................. 7
D. Pembagian Nasakh Mansukh.....................................................  8
E.  Macam-macam Nasakh Mansukh.............................................. 12
F. Hikmah Nasakh Mansukh........................................................... 14

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................  15
B. Saran........................................................................................... 16
Daftar Pustaka............................................................................................. 17



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.
Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara’ dengan huku syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.
Secara terminologi nasikh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat. Selain itu  nasikh jug mempunyai rukun dan syarat.Manna’Al-Qathathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan bahwa nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus).
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasakh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu Naskh sharih, Naskh dhimmy, Naskh kully, Naskh juz'iy.Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam yaitu Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan.Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Sedangkan dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empal macam. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran, Naskh Al-Quran dengan As-sunnah, Naskir As-Sunnah dengan Al-Quran, dan Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Apakah pengertian nasikh dan mansukh?
2.Apakah rukun dan syarat naskh?
3.Bagaimana dasar-dasar penetapan Nasikh danMansukh?
4. Bagaimana Bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran?
5. Bagaimana cara mengetahui hikmah keberadaan Nasikh?

C.TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh.
2. Mengetahui rukun dan syarat nasikh.
3. Mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh danMansukh.
4. Mengetahui Bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran.
5. Mengetahui hikmah keberadaan Nasikh.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh Mansukh
1. Pengertian Nasakh
Pengertian yang sederhana atau umumnya yang kebanyakan orang tau nasikh ini. Nasikh secara etimologi yaitu menghapus/ mengganti/ memindahkan/ mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku. Seperti terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 
Artinya: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.
Menurut Mufti Mesir, Ali Jum'ah, dalam bukunya an-Naskh `ida al-Usuliyyîn, menjelaskan makna naskh secara etimologi ada tiga:
a. Menghilangkan dan menghapus sesuatu.
b. Menghilangkan/menghapus sesuatu dan menggantikannya dengan yang lain.
c. Memindahkan sesuatu dari tempat ke tempat yang lain. Reinkarnasi adalah perpindahan roh dari suatu tubuh ke jasad yang lain. Dalam bahasa Arab disebut dengan tanasukh.

Secara terminologi, para ulama pun berbeda pendapat tentang defenisi nasikh. Ulama-  ulama klasik, dalam mendefenisikan naskh berkisar pada:
a. Pembatalan hukum oleh hukum yang datang kemudian.
b. Pengkhususan yang umum oleh yang khusus.
c. Menjelaskan yang mubham dan mujmal dengan penjelasan yang datang kemudian.
d. taqyîd mutlaq, penetapan syarat bagi yang tidak bersyarat.[1]
Defenisi di atas dipandang terlalu luas, hingga perlu untuk mempersempit definisi tersebut untuk mewakili maksud dari naskh saja. Ali Jum`ah menyebutkan, setidaknya ada tiga definisi:
1). Naskh adalah mengangkat hukum syar`i dengan dalil yang syar`i yang datangnya belakangan. Definisi ini dipilih oleh Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, Ibnu Hajib, dan as-Subki.
2). Naskh adalah khitab yang menunjukkan atas terangkatnnya hukum yang telah ditetapkan dengan khitab yang datang belakangan, yang kalaulah tidak datang khitab itu niscaya hukum yang pertama tetap berlaku. Definisi ini diucapkan oleh Imam al-Ghazali, as-Sairafi, Abu Ishaq asy-Syirazi, dan al-Amidi.
3). Naskh adalah keterangan berakhirnya hukum syar`i dengan cara yang syar`i yang datangnya belakangan. Definisi ini diucapkan oleh al- Baidhawi.[2]
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa naskh secara terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan belakangan.
2. Pengertian Mansukh
Arti yang sederhana mansukh yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.

Mansukh disini dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Mansûkh tilâwah-nya, yakni redaksi ayatnya dalam Alquran, akan tetapi hukumnya tetap berlaku.
b. Mansûkh hukumnya, sementara redaksinya tetap ada di dalam Alquran, seperti surat al-Mujadilah ayat 12:
Artinya: "Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang  miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian tu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini di-naskh hukumnya oleh surat al-Mujadalah ayat 13.
Artinya: "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
c. Mansûkh tilâwah dan hukumnya sekaligus.[3]
3. Pengertian Nasikh Mansukh
Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha’ antara lain:
a. Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah  lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya.
b. Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 228
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dan Surat Al-Ahzab ayat 49:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

B. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat berikut :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif).
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.[4]
Cara untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat.
2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.[5]
C. Rukun Nasakh Mansukh
Adapun Rukun nasakh ada empat, yaitu
a. An-Nasikh, yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.
c. Mansukh, yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anhu, yaitu: orang yang dibebani hukum.[6]

E. Pembagian  Nasakh Dan Mansukh
Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :
1.   Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini disepakati kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ), seperti ayat tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari. QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة : ٢٤٠
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : ٢٣٤
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)
Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh dengan ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق :٤
Artinya :Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(QS. 65:4)
2.  Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. (Dalam hal ini para ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatiroh, sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab syafi’ih, dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an tidak lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.[7]
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
1). Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
 Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
2). Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4.
Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)”.
Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu Asy Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Artinya :Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya…..[8]
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur’an.[9] Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al Qur’an dengan sunnah, karena Al Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.
3.Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini nabi memrintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat al Baqarah ; 144) atau kewajiban puasa Asyura’, yang ditetapkan berdasarkan Sunnah kemudian dinaskh oleh firman Allah QS. Al-Baqarah : 185.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (البقرة : ١٤٤)
Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah /2:144)
4.  Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.contohnya sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam :
Artinya :"Dahulu aku melarang kalian dari meminum nabidz yang disimpan di tempat-tempat, maka (sekarang) minumlah sesuai dengan kehendak kalian, dan jangan kalian meminum sesuatu yang memabukkan."
Dalam katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
1).  Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
2).  Naskh ahad dengan ahad,
3).  Naskh ahad dengan mutawatir,
4).  Naskh mutawatir dengan ahad[10]
Dan ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat.

G.    Macam-macam Naskh
Macam-macam naskh berpengganti dan tidak berpengganti.
1.  Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat Al-Mujadilah : 12.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ (المجادلة:١٢)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المجادلة :١٣)
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujadilah /58:13)
2. Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ( البقرة :١٨٧)
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu ( Al-Baqarah / 2 : 187 )
3. Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah surat Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( البقرة : ١٤٤)
Artinya :Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.( Al-Baqarah / 2 : 144 )
4.  Naskh dengan badal astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
15. dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. 16. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢)
Atau dengan didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera 100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
Artinya :"orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti.

E. Hikmah  Nasakh Mansukh
Naskh mempunyai banyak hikmah diantaranya :
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba dengan disyariatkannya apa yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka.
2.Berkembangnya syari'at sedikit demi sedikit hingga mencapai kesempurnaan.
3. Ujian bagi para mukallaf terhadap kesiapan mereka untuk menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan keridho'an mereka terhadap hal tersebut.
4. Ujian bagi para mukallaf untuk menegakkan tugas bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk bersabar jika naskh itu kepada hukum yang lebih berat.
Menurut Manna'Al-Qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:
1.  Menjaga kemaslahatan hamba.
2.  Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisimanusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4.  Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh,itu berarti kemudahan bagi umat.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian Nasakh
Pengertian yang sederhana atau umumnya yang kebanyakan orang tau nasikh ini. Nasikh secara etimologi yaitu menghapus/ mengganti/ memindahkan/ mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.
2. Pengertian Mansukh
Arti yang sederhana mansukh yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukhberarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
3. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif).
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.
4. Rukun Nasakh Mansukh
a. An-Nasikh, yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.
c. Mansukh, yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anhu,yaitu: orang yang dibebani hukum.
6. Pembagian  Nasakh Dan Mansukh
1.      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
2.      Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
3.      Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4.      Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
6. Macam-macam Naskh
1.      Naskh tanpa badal ( pengganti )
2.      Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan )
3.      Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding )
4.      Naskh dengan badal astqal ( lebih berat )
7. Hikmah  Nasakh Mansukh
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba dengan disyariatkannya apa yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka.
2. Berkembangnya syari'at sedikit demi sedikit hingga mencapai kesempurnaan.
3. Ujian bagi para mukallaf terhadap kesiapan mereka untuk menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan keridho'an mereka terhadap hal tersebut.
4. Ujian bagi para mukallaf untuk menegakkan tugas bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk bersabar jika naskh itu kepada hukum yang lebih berat.
B.     Saran
Semoga makalah ini bisa di bahas dan di pelajari serta menjadi suatu motivasi belajar yang mendorong mahasiswa untuk membaca dan sekaligus memahami isi dari makalah, dan kepada kita selaku penyusunnya supaya bisa bermanfaat di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. PT Pustaka
Rizki Putra. Semarang: 2009
Syadali, Ahmad. Ulumul Qur’an I. CV Pustaka Setia. Bandung: 2006
Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.PT Pustaka Rizki Putra. Semarang: 2010
Al-Qattan.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.PT. Mitra Kerjaya Indonesia. Jakarta: 2009
http://scarmakalah.blogspot.com/2012/07/nasikh-mansukh-studi-al-quran.html
diunduh pada tanggal 07 oktober 2012
http://studitafsir.blogspot.com/2012/03/nasikh-mansukh-dalam-alquran.html
diunduh pada tanggal 07 oktober 2012

[1] Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. PT
Pustaka Rizki Putra. Semarang: 2009 hal: 93
[2]Syadali, Ahmad. Ulumul Qur’an I. CV Pustaka Setia. Bandung: 2006 hal: 157
[3]http://studitafsir.blogspot.com/2012/03/nasikh-mansukh-dalam-alquran.html
diunduh pada tanggal 07 oktober 2012
[4]Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.PT Pustaka Rizki Putra. Semarang:
2010 hal: 99
[5]Al-Qattan.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.PT. Mitra Kerjaya Indonesia. Jakarta: 2009
hal: 330
[6]Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet
IX, 2005, hlm. 293-294. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet
II, 2012,hlm. 252.
[7]Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.hal.32
[8] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 29
[9]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an (Cet.14; Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 334-335
[10] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2 (Jakarta: PT Rineka Cipta 1995), 36-37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar