NASIKH MANSUKH
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas Matakuliah Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing :
Sodikin, M. Pd.I.
Disusun Oleh:
Kelompok 12
Lailatul Kiromah ( 201411001015 )
Achmad Dimyati ( 201411001054 )

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
STIT PGRI PASURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
April, 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami
bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini kami beri judul ”Nasikh-Mansukh” dengan tujuan
untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya”Nasikh-Mansukh”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW. Karena beliau
adalah salah satu figur umat yang
mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada Bapak Sodikin, M. Pd.Iselaku dosen Mata KuliahUshul Fiqih yang telah membimbing kami. Dan
kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan makalah ini hingga selesai.
Kami mohon ma’af
yang sebesar-besarnya apabila
dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah
selanjutnya.
Pasuruan, 19 April 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Cover............................................................................................................ i
Kata Pengantar............................................................................................ ii
Daftar Isi....................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..........………............................................... 2
C. Tujuan Penulisan...................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh
Mansukh..................................................... 3
B. Syarat-syarat Nasakh Mansukh
................................................ 7
C. Rukun Nasakh Mansukh............................................................. 7
D. Pembagian Nasakh
Mansukh..................................................... 8
E. Macam-macam Nasakh Mansukh.............................................. 12
F. Hikmah Nasakh
Mansukh........................................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 15
B.
Saran........................................................................................... 16
Daftar Pustaka............................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk
dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari
Al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh
Mansukh yang cukup panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih
teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim
yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar
dan baik.
Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda
satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin
tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah
menghapuskan suatu huum syara’ dengan huku syara’ yang lain untuk menjaga
kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan
yang berikutnya.
Secara terminologi
nasikh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan
hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i
(menghapus hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum
yang di angkat. Selain itu nasikh jug
mempunyai rukun dan syarat.Manna’Al-Qathathan menetapkan tiga dasar untuk
menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan bahwa nasikh (menghapus) ayat lain
mansukh (dihapus).
Berdasarkan kejelasan
dan cakupannya, nasakh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu Naskh
sharih, Naskh dhimmy, Naskh kully, Naskh juz'iy.Dilihat dari segi bacaan dan
hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam yaitu Penghapusan
terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan.Penghapusan
terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.Penghapusan terhadap
bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Sedangkan dari sisi otoritas mana yang lebih
berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empal macam.
Naskh Al-Quran dengan Al-Quran, Naskh Al-Quran dengan As-sunnah, Naskir
As-Sunnah dengan Al-Quran, dan Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.Apakah
pengertian nasikh dan mansukh?
2.Apakah rukun dan syarat naskh?
3.Bagaimana dasar-dasar penetapan Nasikh danMansukh?
4. Bagaimana Bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran?
5. Bagaimana cara mengetahui hikmah keberadaan Nasikh?
C.TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh.
2. Mengetahui rukun dan syarat nasikh.
3. Mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh danMansukh.
4. Mengetahui Bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran.
5. Mengetahui hikmah keberadaan Nasikh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasakh Mansukh
1. Pengertian Nasakh
Pengertian yang sederhana atau umumnya yang kebanyakan orang tau
nasikh ini. Nasikh secara etimologi yaitu menghapus/ mengganti/ memindahkan/
mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum
syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya
tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku. Seperti
terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106
Artinya: Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu?.
Menurut Mufti Mesir, Ali Jum'ah, dalam bukunya an-Naskh `ida
al-Usuliyyîn, menjelaskan makna naskh secara etimologi ada tiga:
a. Menghilangkan dan menghapus
sesuatu.
b. Menghilangkan/menghapus sesuatu dan menggantikannya dengan yang
lain.
c. Memindahkan sesuatu dari tempat ke tempat yang lain. Reinkarnasi
adalah perpindahan roh dari suatu tubuh ke jasad yang lain. Dalam bahasa Arab
disebut dengan tanasukh.
Secara terminologi, para ulama pun berbeda pendapat tentang
defenisi nasikh. Ulama- ulama
klasik, dalam mendefenisikan naskh berkisar pada:
a. Pembatalan hukum oleh hukum yang datang kemudian.
b. Pengkhususan yang umum oleh yang khusus.
c. Menjelaskan yang mubham dan mujmal dengan penjelasan yang datang
kemudian.
Defenisi di atas dipandang terlalu luas, hingga perlu untuk
mempersempit definisi tersebut untuk mewakili maksud dari naskh saja.
Ali Jum`ah menyebutkan, setidaknya ada tiga definisi:
1).
Naskh adalah
mengangkat hukum syar`i dengan dalil yang syar`i yang datangnya belakangan.
Definisi ini dipilih oleh Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, Ibnu Hajib, dan
as-Subki.
2). Naskh adalah khitab yang menunjukkan atas terangkatnnya hukum
yang telah ditetapkan dengan khitab yang datang belakangan, yang kalaulah tidak
datang khitab itu niscaya hukum yang pertama tetap berlaku. Definisi ini
diucapkan oleh Imam al-Ghazali, as-Sairafi, Abu Ishaq asy-Syirazi, dan
al-Amidi.
3). Naskh
adalah keterangan berakhirnya hukum syar`i dengan cara yang syar`i yang
datangnya belakangan. Definisi ini diucapkan oleh al- Baidhawi.[2]
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa naskh secara
terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu,
sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan belakangan.
2. Pengertian Mansukh
Arti yang sederhana mansukh yaitu sesuatu yang diganti.
Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’
yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan
hukum syara’ yang datang kemudian.
Mansukh disini dapat
dibagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Mansûkh tilâwah-nya, yakni redaksi ayatnya dalam Alquran, akan
tetapi hukumnya tetap berlaku.
b. Mansûkh hukumnya, sementara redaksinya tetap ada di dalam
Alquran, seperti surat al-Mujadilah ayat 12:
Artinya: "Hai orang-orang beriman, apabila kamu
mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian tu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu
tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini di-naskh hukumnya oleh surat al-Mujadalah ayat 13.
Artinya: "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena
kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul?
Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
c. Mansûkh tilâwah dan hukumnya sekaligus.[3]
3. Pengertian Nasikh Mansukh
Arti nasikh mansukh dalam
istilah fuqaha’ antara lain:
a. Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang.
Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya.
b. Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti
dalam Surat Al-Baqarah ayat 228
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Dan Surat Al-Ahzab ayat 49:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
B. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan
adanya syarat-syarat berikut :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh)
harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus
ada pertetangan yang nyata (kontradiktif).
Cara untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa
cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi
atau sahabat.
2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan
yang itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan
mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.[5]
C. Rukun Nasakh Mansukh
Adapun Rukun nasakh ada empat, yaitu
a. An-Nasikh, yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan
(penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang
membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.
c. Mansukh, yaitu: yaitu hukum yang di batalkan,
dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anhu, yaitu: orang yang dibebani hukum.[6]
E. Pembagian Nasakh Dan Mansukh
Pembagian Nasakh dapat
diklarifikasikan kepada empat bagian :
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini disepakati
kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ), seperti ayat
tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari. QS.
Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ
إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة : ٢٤٠
Artinya: “Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka.Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)
Dinaskh dengan ayat
Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ
فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : ٢٣٤
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa
bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)
Dan hukum tersebut bagi
yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh dengan ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ
مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى
لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق :٤
Artinya :Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(QS. 65:4)
2. Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. (Dalam hal ini para ulama membatasi
hanya denga sunnah mutawatiroh, sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah,
mazhab al-Asy’ary dan Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab syafi’ih,
dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an tidak lebih baik
kedudukannya dengan as-sunnah.[7]
Nasakh jenis ini menurut Syaikh
Manna’ terbagi dua, yaitu:
1). Nasakh Al Qur’an dengan hadits
ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh
oleh hadis ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang
hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu
yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
2). Nasakh
Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah
dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4.
Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan(kepadanya)”.
Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami
turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka”.Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu
penjelasan.
Sementara itu Asy Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam
surah Al Baqarah ayat 106:
Artinya :Apa saja ayat
yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan
yang lebih baik atau yang sebanding denganya…..[8]
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih
dari atau sebanding dengan Al Qur’an.[9]
Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al Qur’an dengan sunnah, karena Al
Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi
dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah
disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada
dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.
3.Naskh As-Sunnah dengan
Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini
nabi memrintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian
dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat al Baqarah ; 144) atau kewajiban puasa
Asyura’, yang ditetapkan berdasarkan Sunnah kemudian dinaskh oleh firman Allah
QS. Al-Baqarah : 185.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ
بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (البقرة : ١٤٤)
Artinya: Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram.Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar
dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka
kerjakan. (QS. Al-Baqarah /2:144)
4. Naskh as-Sunnah dengan
As-Sunnah.contohnya sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam :
Artinya :"Dahulu aku melarang kalian
dari meminum nabidz yang disimpan di tempat-tempat, maka (sekarang)
minumlah sesuai dengan kehendak kalian, dan jangan kalian meminum sesuatu yang
memabukkan."
Dalam katagori ini,
ulama membolehkan, dengan ketentuan :
1). Naskh mutawwatir dengan
mutawatir,
2). Naskh ahad dengan ahad,
3). Naskh ahad dengan mutawatir,
4). Naskh mutawatir dengan ahad[10]
Dan ulama menyepakati
dalam tiga bentuk yang pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan
pendapat.
G. Macam-macam Naskh
Macam-macam naskh
berpengganti dan tidak berpengganti.
1. Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara
kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat Al-Mujadilah : 12.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً
ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ
رَّحِيمٌ (المجادلة:١٢)
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih;
jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh
dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ
عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ
وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المجادلة :١٣)
Artinya : Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Mujadilah /58:13)
2. Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat
Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ( البقرة :١٨٧)
Artinya : Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu (
Al-Baqarah / 2 : 187 )
3. Naskh dengan badal
mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap bait
al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah surat
Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي
السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( البقرة : ١٤٤)
Artinya :Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram.( Al-Baqarah / 2 : 144 )
4. Naskh dengan badal
astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada
awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
15. dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. 16. dan terhadap dua orang yang
melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya,
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي
دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢)
Atau dengan
didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera
100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah SWT :
Artinya :"orang tua
laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti.
E. Hikmah Nasakh Mansukh
Naskh mempunyai banyak hikmah diantaranya :
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba
dengan disyariatkannya apa yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama
dan dunia mereka.
2.Berkembangnya syari'at sedikit demi
sedikit hingga mencapai kesempurnaan.
3. Ujian bagi para mukallaf terhadap
kesiapan mereka untuk menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan
keridho'an mereka terhadap hal tersebut.
4. Ujian bagi para mukallaf untuk
menegakkan tugas bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan
tugas untuk bersabar jika naskh itu kepada hukum yang lebih berat.
Menurut Manna'Al-Qaththan terdapat empat hikmah
keberadaan ketentuan naskh, yaitu:
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
2. Pengembangan pensyariatan
hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan
kondisimanusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf
dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan
kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada
ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala.
Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh,itu
berarti kemudahan bagi umat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian Nasakh
Pengertian yang
sederhana atau umumnya yang kebanyakan orang tau nasikh ini. Nasikh secara
etimologi yaitu menghapus/ mengganti/ memindahkan/ mengutip. Sedangkan secara
terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’
yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu
tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.
2. Pengertian Mansukh
Arti
yang sederhana mansukh yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara
terminologi, mansukhberarti hukum syara’ yang menempati posisi awal,
yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang
kemudian.
3. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh)
harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada
pertetangan yang nyata (kontradiktif).
4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat
mutawatir.
4. Rukun Nasakh Mansukh
a. An-Nasikh, yaitu peryataan yang menunjukan
pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang
membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.
c. Mansukh, yaitu: yaitu hukum yang di batalkan,
dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anhu,yaitu: orang yang dibebani hukum.
6. Pembagian Nasakh Dan Mansukh
1.
Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
2. Naskh Al-Qur’an dengan
As-Sunnah.
3. Naskh As-Sunnah dengan
Al-Qur’an.
4. Naskh as-Sunnah dengan
As-Sunnah.
6. Macam-macam Naskh
1. Naskh tanpa badal (
pengganti )
2. Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan )
3. Naskh dengan badal
mumatsil ( sebanding )
4. Naskh dengan badal
astqal ( lebih berat )
7. Hikmah Nasakh Mansukh
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba dengan disyariatkannya apa yang
lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka.
2. Berkembangnya syari'at sedikit demi
sedikit hingga mencapai kesempurnaan.
3. Ujian bagi para mukallaf terhadap
kesiapan mereka untuk menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan
keridho'an mereka terhadap hal tersebut.
4. Ujian bagi para mukallaf untuk menegakkan
tugas bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk
bersabar jika naskh itu kepada hukum yang lebih berat.
B.
Saran
Semoga makalah ini bisa di bahas dan di pelajari serta menjadi
suatu motivasi belajar yang mendorong mahasiswa untuk membaca dan sekaligus
memahami isi dari makalah, dan kepada kita selaku penyusunnya supaya bisa
bermanfaat di kemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. PT Pustaka
Rizki Putra. Semarang: 2009
Syadali, Ahmad. Ulumul Qur’an I. CV
Pustaka Setia. Bandung: 2006
Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.PT
Pustaka Rizki Putra. Semarang: 2010
Al-Qattan.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.PT.
Mitra Kerjaya Indonesia. Jakarta: 2009
http://scarmakalah.blogspot.com/2012/07/nasikh-mansukh-studi-al-quran.html
diunduh pada tanggal 07 oktober 2012
http://studitafsir.blogspot.com/2012/03/nasikh-mansukh-dalam-alquran.html
diunduh pada tanggal 07 oktober 2012
Pustaka
Rizki Putra. Semarang: 2009 hal: 93
[3]http://studitafsir.blogspot.com/2012/03/nasikh-mansukh-dalam-alquran.html
diunduh pada tanggal 07 oktober 2012
2010
hal: 99
hal:
330
[6]Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum
(et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet
IX, 2005, hlm. 293-294. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet
II, 2012,hlm. 252.
[8]
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 29
[9]Manna’Khalil
al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-
Ilmu Qur’an (Cet.14; Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 334-335
[10] Mana’ul
Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2 (Jakarta: PT Rineka Cipta 1995), 36-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar